Back   
MENJADI GARAM DUNIA
"... dan Paulus mau, supaya dia menyertainya dalam perjalanan. Paulus menyuruh menyunatkan dia karena orang-orang Yahudi di daerah itu, sebab setiap orang tahu bahwa bapanya adalah orang Yunani" (Kis. 16:3)
Sebagai anak Tuhan, kita diperintahkan untuk menjadi berkat dan membawa pesan Injil bagi teman-teman kita yang belum mengenal Tuhan. Namun dilema yang sering terjadi adalah ketika kita juga dilarang bergaul dan menjadi serupa dengan dunia. Kita dipanggil untuk menjadi terang dan garam dunia, juga menjadikan semua bangsa murid Kristus tetapi Alkitab memberikan peringatan agar berhati-hati dalam bergaul, karena pergaulan yang buruk akan merusak kebiasaan yang baik. Bagaimana kita menyikapi hal ini? Mari kita belajar dari Paulus dan Timotius
Pertama: Runtuhkan halangan tradisi. Pada saat Paulus ada di Derbe dan Listra, ia bertemu dengan seorang murid yang bernama Timotius. Paulus ingin mengajak Timotius dalam perjalanannya tetapi ia menyadari satu hal yang akan mungkin menghalangi Timotius dalam menginjil dengan efektif, yaitu kenyataan bahwa ayahnya adalah seorang Yunani. Hal ini membuat Paulus meminta supaya Timotius disunat agar tembok tradisi yang menghalangi berita Injil diruntuhkan. Dengan melakukan hal ini, Paulus dan Timotius akan dapat membangun kepercayaan dan keterbukaan pihak Yahudi yang belum mengenal Kristus dan dapat memberitakan pesan Injil.
Kedua: Bangun Kredibilitas. Paulus mengerti bahwa dalam keberhasilan dan efektifitas pelayanan, kredibilitas adalah hal yang sangat penting. Demi Timotius dapat diterima dan dipercaya oleh orang Yahudi, maka Paulus merasa perlu agar ia disunat. Sekalipun tradisi sunat tidak berlaku bagi orang percaya dan tidak dapat menyelamatkan seseorang, namun dalam upaya menjangkau orang Yahudi yang belum percaya dan mendapatkan kepercayaan mereka, Paulus dan Timotius perlu menghargai budaya tersebut demi membangun kredibilitas.
Melalui pengalaman Paulus dan Timotius kita belajar bahwa kita harus berusaha untuk beradaptasi dengan komunitas dan lingkungan di sekitar kita. Dengan kasih dan ketulusan, kita menghargai budaya yang ada untuk membangun kredibilitas dan rasa percaya, selama budaya tersebut tidak berbau dosa dan bertentangan dengan iman. Bayangkan apabila seorang misionaris tetap mempertahankan budaya dan tradisinya, lantas tidak mau belajar budaya lokal, makanan dan kebiasaan setempat, termasuk bahasanya. Tentu akan sangat sulit bagi injil untuk diterima disana.
Apabila Paulus menghendaki Timotius melakukan hal yang tidak berguna, yang ditentangnya dalam surat kepada jemaat di Galatia, yaitu sunat, bukankah kita harus meneladani jejaknya? Apabila hal itu tidak mempengaruhi keselamatan, dan justru akan membuat Injil tersebar luas, mengapa kita tidak meruntuhkan tradisi yang menghalangi dan membangun kredibilitas?
Saya mengajak para pembaca untuk menjadi teman dan sahabat bagi mereka yang belum percaya, agar mereka bisa diselamatkan. Perlu selalu diingat bahwa kitalah garamnya, jangan sampai kita menjadi garam yang tawar, AMIN. (ES)