Back   
KUASA PENGAMPUNAN YANG MEMULIHKAN
(2 Korintus 2:1-17)
Perikop ini menunjukkan hati gembala dari Rasul Paulus yang sedang dilanda ketegangan secara emosional. Secara historis, surat ini ditulis dalam konteks hubungan yang rumit antara Paulus dan jemaat di Korintus. Masalahnya berawal dari seorang anggota jemaat yang melakukan pelanggaran serius (mungkin seperti yang diuraikan dalam 1 Korintus 5). Paulus sebelumnya telah menasihati jemaat untuk melakukan tindakan disiplin gerejawi. Tindakan disiplin itu ternyata berhasil dan membuahkan pertobatan sejati. Namun, masalah baru muncul: jemaat menjadi kaku dan enggan mengampuni serta menerima kembali orang yang telah bertobat tersebut.
Dengan hikmat yang dalam, Paulus mendesak mereka untuk bertindak. “Cukuplah hukuman yang dijatuhkan kepadanya oleh kebanyakan saudara-saudara kita. Sebaliknya, kamu harus mengampuni dan menghibur dia, supaya ia jangan binasa oleh kesedihan yang terlampau berat” (ay. 6-7). Prinsip ini abadi: tujuan akhir dari disiplin adalah pemulihan dan rekonsiliasi, bukan penghukuman yang berlarut-larut atau pembalasan.
Memahami latar belakang budaya sangat penting di sini. Dalam masyarakat kolektivis seperti Korintus, penolakan dari komunitas bukan hanya soal perasaan; itu berarti pengucilan sosial dan ekonomi yang dapat menghancurkan hidup seseorang. “Kesedihan yang terlampau berat” yang ditakutkan Paulus adalah kondisi yang sangat nyata dan berbahaya. Itulah sebabnya ia mendesak jemaat untuk secara aktif “meneguhkan kasih mereka” kepada orang tersebut (ay. 8: “Sebab itu aku menasihatkan kamu, supaya kamu sungguh-sungguh mengasihi dia”), sebuah tindakan yang bersifat publik dan restoratif.
Kemudian, Paulus memberikan perspektif spiritual yang lebih luas. Dengan mengampuni, kita melucuti strategi Iblis (ay. 11: “supaya Iblis jangan beroleh keuntungan atas kita, sebab kita tahu apa maksudnya”). Musuh ingin kita terjebak dalam siklus kepahitan, kesalahan yang tidak terampuni, dan perpecahan.
Pengampunan yang tulus mematahkan skema ini dan merupakan tindakan kemenangan dalam Kristus. Paulus menggambarkan pelayanannya seperti aroma (bau) yang dibawa ke mana-mana (ay. 15: “Sebab bagi Allah kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa”). Cara kita memperlakukan orang yang telah jatuh dan bertobat adalah kesaksian yang kuat kepada dunia. Apakah kita memancarkan aroma penghakiman dan penolakan, atau aroma kasih karunia dan pemulihan?
Terkadang, kita lebih nyaman dengan penghakiman daripada pengampunan. Kita memegang kesalahan orang lain sebagai benteng untuk membenarkan diri sendiri. Renungkan: adakah seseorang yang telah menunjukkan penyesalan tulus, tetapi Anda masih menutup pintu hati untuk menerimanya?
Ingatlah tujuan Tuhan adalah pemulihan. Pengampunan bukan menyangkali luka, tetapi memilih untuk dibebaskan dari belenggu kepahitan. Jadilah pembawa aroma pengampunan dan pengharapan di mana pun Anda berada hari ini. Amin. (SDK)