Back   
MENILIK KALBU
(Matius 7:1-5)
Dalam perjalanan hidup ini, saya pernah diliputi keresahan yang mendalam, yang mengarah pada penghakiman—baik yang datang dari orang lain maupun yang saya buat terhadap orang lain. Ada waktu-waktu ketika saya merasa begitu yakin dengan keyakinan saya akan kebenaran dan suatu ajaran. Saat itu saya merasa apa yang saya percayai adalah yang paling benar. Namun, semakin lama saya berjalan dalam kebencian dan ketidaksetujuan, saya merasa terjebak dalam lingkaran penghakiman yang tak berkesudahan. Misalnya, dalam kehidupan bergereja, begitu banyak gereja yang mengklaim bahwa ajaran mereka yang paling benar dan yang lain salah. Tentu, korban dari hal ini adalah jemaat dan beberapa orang, termasuk saya. Seringkali kita terjebak pada keyakinan terhadap ajaran gereja, bukan pada Sang Kristus Yesus.
Namun, semakin dalam saya merenung, saya sadar bahwa kebencian ini hanya memperburuk segalanya. Semakin saya benci, semakin keras penilaian saya terhadap orang lain. Matius 7:1-5 mengingatkan saya: “Janganlah kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Ayat ini mengajarkan bahwa dalam menghakimi orang lain, kita justru memberi ruang bagi penghakiman atas diri kita sendiri.
Poin pertama dalam perenungan ini adalah bahwa kita seringkali terlalu cepat memberi penilaian terhadap orang lain, tetapi jarang meluangkan waktu untuk memeriksa hati kita sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih mudah melihat kekurangan orang lain dibandingkan menyadari kelemahan yang ada dalam diri kita. Matius 7:3-4 mengingatkan kita, “Mengapa kamu melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak kamu ketahui?” Ayat ini mengajak kita untuk memeriksa diri atau koreksi diri. Terlalu sering kita terjebak dalam kebiasaan mengkritik orang lain—baik di tempat kerja, lingkungan sosial, atau keluarga—tanpa menyadari bahwa kita pun memiliki kekurangan yang sama, atau bahkan lebih besar, yang perlu diperbaiki.
Setiap kali kita merasa tergoda untuk menghakimi atau mengkritik orang lain, ini adalah saat yang tepat untuk berhenti sejenak dan bertanya pada diri kita sendiri: “Apa yang harus saya perbaiki dalam diri saya?” Sebab, penghakiman yang cepat sering kali berakar dari ketidaksadaran atau kebiasaan untuk melihat orang lain dari sudut pandang yang sempit. Ini adalah panggilan bagi kita semua untuk lebih mengasihi dan memahami, daripada terburu-buru menghakimi.
Poin kedua adalah bahwa penghakiman seringkali berasal dari kebencian yang belum diselesaikan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali membiarkan rasa benci dan ketidaksetujuan tumbuh di dalam hati kita, tanpa menyadari bahwa hal itu hanya akan memperburuk sikap kita terhadap orang lain. Matius 7:5 mengingatkan kita untuk membersihkan diri sendiri sebelum kita bisa membantu orang lain. Dalam konteks ini, membersihkan diri berarti mengatasi rasa benci, dendam, dan penghakiman yang tidak sehat yang ada dalam hati kita. Ketika kita membiarkan kebencian menguasai, kita kehilangan kemampuan untuk melihat dengan jelas dan dengan kasih, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Hanya dengan hati yang bersih, yang dipenuhi kasih dan pengertian, kita bisa melihat orang lain dengan cara yang lebih baik. Hanya dengan mengatasi kebencian yang ada dalam diri kita, kita bisa memahami orang lain dengan lebih mendalam. Perenungan ini mengajak kita untuk tidak membiarkan perasaan negatif menguasai hati kita, tetapi untuk membersihkan hati kita agar dapat melayani orang lain dengan kasih yang tulus. Sebab, hanya dengan hati yang penuh kasih, kita bisa membawa perubahan positif dalam hubungan kita dengan orang lain, tanpa terbebani oleh penghakiman yang tidak perlu.
Kesimpulan:
Perenungan ini mengajarkan kita untuk menilik hati kita sendiri sebelum kita menilai orang lain. Sering kali kita terlalu fokus pada kesalahan orang lain tanpa menyadari bahwa kita pun memiliki kekurangan yang perlu diperbaiki. Saya belajar bahwa kebencian yang terus dipelihara hanya akan mengeraskan hati kita, menjauhkan kita dari kasih Tuhan dan kebenaran-Nya. Matius 7:1-5 mengingatkan kita bahwa hidup bukan hanya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi bagaimana kita saling mengasihi dengan tulus, memaafkan, dan mengatasi kebencian dalam hati kita. Hanya dengan sikap yang rendah hati dan hati yang penuh kasih kita dapat berkontribusi dalam membangun hubungan yang lebih baik—bukan melalui penghakiman, tetapi dengan pengertian dan pengampunan. (YR)